Senin, 24 Mei 2021

Review Buku Jadie Tangis Tanpa Suara


Sebuah kisah berdasarkan kisah nyata, seringnya menarik minat sebagian besar pembaca. Sebagaimana kisah dalam buku berjudul Jadie: Tangis Tanpa Suara ini. Kisah di dalamnya diangkat dari kisah nyata yang dialami penulisnya.


Bagaimana isinya? Simak ulasan berikut ini.


Spesifikasi Buku

Judul Buku    : Jadie, Tangis Tanpa Suara

Penulis : Torey Hayden

Penerjemah : Utti Setiawati 

Penyunting : Pangestuningsih

Penerbit : Qanita, November 2003

ISBN : 978979326122

Tebal :512 hal

credit to @literavy


Sekilas Isi Buku

Torey adalah seorang koordinator riset dan terapis di Sandry Clinic selama tiga tahun. Kehidupannya berubah sejak dia melamar untuk menjadi guru pendidikan khusus. Walaupun secara penghasilan dan kenyamanan jelas jauh berbeda, tapi Torey memilih mengikuti kata hatinya.

Dan disini dia bertemu dengan Reuben, Philip, Jeremiah dan Jadie.

Reubeun yang autis dan tidak bisa berbicara dengan normal. Philip yg kecanduan obat karena ibunya. Jeremiah yang atraktif tapi sulit mengontrol diri dan Jadie, yang didiagnosis elective mutism.

Secara singkat elective mutism bisa diartikan sebagai keenganan berbicara bukan ketidakmapuan berbicara. Karena pada kondisi tertentu, si penderita mampu berbicara normal. Hal inilah yang terjadi pada tokoh utama dalam buku ini, Jadie. Sekalipun kemampuan akademisnya normal tetapi dia membisu jika berada di kelas, baik kepada teman-temannya maupun gurunya tapi di rumah dia berbicara normal.

Torey, guru baru yang memang hadir untuk anak-anak berkebutuhan khusus tertarik dengan sikap diam Jadie, untung bagi Torey, Jadie akhirnya bersuara sekalipun hanya kata-kata singkat. Walaupun sangat lambat, Jadie mulai banyak berbicara pada Torey terutama di jam selepas pulang sekolah. Sayangnya semakin banyak Jadie berbicara, semakin banyak hal mengerikan yang diungkapkannya. 

Kedekatan Jadie dan Torey tapi ini tidak menjadikannya mudah karena kerapkali Jadie berbicara dengan menggunakan istilah atau hal-hal yang tidak masuk logika. Perlu usaha keras dari sisi Torey untuk memahami dan menerjemahkan apa maksud dari perkataannya dan Jadie cenderung memiliki trust issue bahkan kepada Torey sendiri. 

Walaupun kelas berkebutuhan khusus ini hanya terdiri dari empat siswa, tapi focus cerita diarahkan pada interaksi Jadie dan Torey. Nama lain yang sering muncul adalah Jeremiah yang juga merupakan penghuni kelas dan memiliki masalah dalam bersikap. Pendekatan Torey kepada jadie yang kerap menemui jalan buntu terasa agak membosankan karena seperti diulang-ulang tanpa hasil. Tapi bukankah realita seperti itu? Berbagai metode dilakukan untuk mencapai hal yang diinginkan sekalipun kebosanan melanda.

Diceritakan memalui sudut pandang Torey, beberapa bagian dalam cerita disini membuat saya merasa mual, jijik dan ngilu membayangkannya. Ada ritual yang melibatkan seks dan kekerasan terhadap hewan yang terasa sangat tidak nyaman saat dibaca. Di akhir ada penjelasan panjang mengenai hal-hal yang tak terjawab dan nasib Jadie serta adik-adiknya, mengingat cerita ini berdasar kisah nyata. Betapa tindak kekerasan lebih banyak dilakukan oleh lingkungan terdekat dan mengakibatkan kehancuran pada diri penderita terlebih anak-anak dalam hal ini. Serta membuat saya semakin tersadar bahwa anak-anak istimewa memerlukan penanganan istimewa pula.

Cerita ini based on true story. Kalau yg suka baca karya-karyanya Torey pasti ngeh, dia berkisah tentang murid-murid atau pasien yng pernah dia tangani. Bukunya yang paling populer judulnya Sheila, seperti buku lainnya juga yang membahas tentang ABK dan pengalamannya dari sudut pandang Torey.


Kontributor : @literavy
Editor: @visyabiru_

Tidak ada komentar:

Posting Komentar