Sobat Buku, kamu sudah pernah nonton film Hujan Bulan Juni
belum nih? Pemeran utamanya itu Adipati Dolken sama Velove Vexia lho. Nah,
kalau sudah, apakah benang merah yang dihasilkan dalam filmnya akan segereget
dengan novelnya yang kali ini diulas oleh Kak Rahmah?
Profil Novel Hujan Bulan Juni
Judul Buku :
Hujan Bulan Juni
Penulis :
Sapardi Djoko Damono
Penerbit :
Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit :
Cetakan ketujuh, Februari 2016
Tebal :
135 halaman
Blurb Buku Hujan Bulan Juni Karya
Sapardi Djoko Damono
Bagaimana mungkin seseorang memiliki keinginan untuk
mengurai kembali benang yang tak terkirakan jumlahnya dalam selembar sapu
tangan yang telah ditenunnya sendiri.
Bagaimana mungkin seseorang bisa mendadak terbebaskan dari
jaringan benang yang susun-bersusun, silang-menyilang, timpa-menimpa dengan
rapi di selembar saputangan yang sudah bertahun-tahun lamanya ditenun dengan
sabar oleh jari-jarinya sendiri oleh kesunyiannya sendiri oleh ketabahannya
sendiri oleh tarikan dan hembusan napasnya sendiri oleh rintik waktu dalam
benaknya sendiri oleh kerinduannya sendiri oleh penghayatannya sendiri tentang
hubungan-hubungan pelik antara perempuan dan laki-laki yang tinggal di sebuah
ruangan kedap suara yang bernama kasih sayang.
Tentang Novel Hujan Bulan Juni
Penulis itu, walau jatah usia di dunianya sudah habis, ia
akan selalu hidup dalam karya yang diciptanya. Begitulah yang juga terjadi pada
eyang kita, seorang sastrawan besar tanah air, Sapardi Djoko Damono.
Walau telah berpulang pada 2020 lalu, buktinya nih … masih
saja ada yang membaca karyanya dan dibuat terhanyut oleh alur cerita juga pesan
yang tersirat dalam karya tadi. Seperti yang dirasakan oleh Kak Rahmah, kemudian
tertransfer pula perasaan tadi ke Yuni yang pada Bicara Buku sesi Jumat lalu mengambil
peran sebagai moderator.
Bermula dari pertemuan Kak Rahmah dengan novel Hujan Bulan Juni
yang dijumpainya di salah satu platform media sosial, membawa Kak Rahmah ikut
membaca karya eyang SDD. Sampulnya unik, sebab judulnya dihadirkan serupa tulisan
yang terhapus oleh air hujan.
Lewat desas-desus yang sampai ke telinga Kak Rahmah, novel
ini dianggap kisahnya kurang greget. Apalagi penghujung ceritanya yang dibuat
menggantung. Nah, bagaimana nih dengan kamu yang lebih dulu menonton filmnya,
apakah akhir kisah Sarwono dan Pingkan pun sama?
Bicara soal gaya bertutur Sapardi Djoko Damono yang memang nyastra sekali, dalam versi novel hasil
adaptasi puisi beliau yang juga berjudul Hujan Bulan Juni ini, kalimat yang
disajikan pun panjang dan berkerut. Khas ya. Begitulah yang Kak Rahmah
sampaikan.
Semisal pada halaman 44 dan 45 hanya berisi dua kalimat.
Pertama, kalimat maha panjang yang ditulis dengan hati-hati tanpa satupun tanda
baca. Sedangkan kalimat keduanya sesederhana : bahwa kasih sayang beriman pada
senyap.
Menurut MinBuk sih, kalau membaca karya yang dialihwahanakan
dari sebuah puisi begini, pun dengan kalimat yang panjang beserta pilihan kata
yang cenderung puitis, butuh waktu sedikit lebih lama untuk memahami maknanya. Mungkin
itu sih alasannya novel Hujan Bulan Juni disebut kurang gereget.
Tapi kan bahan bacaan apapun, bagus nggaknya ya kembali ke
selera pembacanya nggak sih, Sobat Buku? Tiada book-shaming di antara kita ya … janji ya, Sobat Buku.
Lagipula … bisa jadi dari karya yang dianggap kurang gereget
oleh beberapa pembaca, malah membuat seorang pembaca lain jatuh cinta. Ujungnya
malah bertransformasi jadi pembaca setia dan segitu sukanya dengan buku,
seperti salah satu member di Forum Buku Berjalan yang pernah menuangkan
kisahnya dalam antologi
Me, Myself, and Book : Ceritaku dan Buku, dimana karya yang membawa ia suka
buku adalah puisi dari Sapardi Djoko Damono.
dokumen pribadi Kak Rahmah |
Balik ke sesi cerita Kak Rahmah tentang novel Hujan Bulan
Juni. Ada yang unik nih yang Kak Rahmah temukan sepanjang membaca. Di halaman
44 dan 45 yang tadi Kak Rahmah ceritakan, penulisan dari paragraf keduanya
hanya satu kalimat. Sementara paragraf pertamanya panjang sekali.
Selain keunikan tadi, di bab satu yang nggak begitu panjang,
semua teks yang disajikan berbentuk narasi. Ada juga di halaman 39 sampai 43,
dan justru hanya berisi dialog antara Pingkan dan Sarwono, dua tokoh utama dalam
buku ini.
Novel Hujan Bulan Juni – seperti yang dimunculkan dalam
blurb-nya -- menceritakan hubungan asmara antara Sarwono yang merupakan seorang
dosen antropologi di Universitas Indonesia, dengan Pingkan yang merupakan
seorang dosen Bahasa Jepang yang mengajar di perguruan tinggi yang sama. Hubungan
keduanya diceritakan berjalan baik-baik saja, hingga suatu ketika saat Sarwono
ingin lebih serius menjalani hubungan dengan Pingkan, ia merasa tidak dihargai
oleh keluarga besar Pingkan, yang merupakan keluarga besar dari Minahasa,
sedangkan Sarwono sendiri berasal dari Jawa. Dan tentu bisa ditebak, mereka
beda agama.
Bisa dibilang ini hubungan percintaan antara pria sederhana
dan kaku bernama Sarwono dengan gadis cantik dan pintar. Pingkan, perempuan
yang berdarah blasteran dari dua suku: Jawa (Solo) dan Minahasa (Menado). Ada
juga tokoh Toar sebagai kakak Pingkan sekaligus sahabat Sarwono. Dan dari sana
kisah cinta mereka bermula.
Sarwono seorang Antropolog ini tengah disibukkan dengan
pekerjaannya sebagai peneliti karena ia mendapatkan tugas tersebut dari dosen
seniornya. Pingkan dan Sarwono sering bertemu maka keduanya saling jatuh cinta.
Uniknya, cinta mereka dibumbui dengan obrolan yang remeh-temeh setiap kali
sedang jalan bersama. Tetapi, justru sebab obrolan mereka itulah yang membuat
keromantisan di antara keduanya semakin terbangun.
Oh ya, hubungan mereka tersebut juga ditentang oleh tante
Henny dan tante Keke yang merupakan keluarga dari pihak Ayah Pingkan. Nah lho,
bakalan banyak aral melintang sih ini, kalau dari penerawangan MinBuk.
Keduanya sama-sama dosen muda di UI. Namun, Sarwono dan
Pingkan memiliki latar yang kontras dari sisi budaya, suku, bahkan agama.
Sarwono berasal dari kota kecil di Solo yang sudah pasti orang Jawa, sedangkan
Pingkan campuran dari Solo dan Manado. Sarwono dan Pingkan sebenarnya tidak
mempermasalahkan keyakinan mereka masing-masing, namun aral itu justru datang
dari pihak keluarga Pingkan.
Hubungan yang pelik antara Sarwono dengan keluarga besar
Pingkan terjadi ketika Sarwono ditugaskan untuk melakukan rapat kerja ke
Universitas Sam Ratulangi, Manado. Di Manado, Sarwono mengajak Pingkan ikut
serta untuk menemaninya, dan di Manado pula Pingkan mengajak Sarwono untuk
menemui keluarga besarnya.
Sarwono yang diceritakan gemar sekali menulis puisi,
memiliki sikap yang setia kepada Pingkan. Meskipun di dalam cerita Sarwono
acapkali terbaring sakit karena flek di paru-parunya. Benny, sepupu Pingkan, yang
juga memiliki rasa kepada Pingkan, selalu berusaha membuat hubungan antara
Sarwono dengan Pingkan segera berakhir. Namun karena kesetiaan antara Sarwono
dengan Pingkan, Benny akhirnya menyerah dan lepas tangan.
Kalau MinBuk simak sih, dari novel Hujan Bulan Juni saja
sudah bisa menyesakkan hati pembaca nih sepanjang membaca. Buat Sobat Buku yang
sudah lebih dulu nonton film Hujan Bulan Juni, ceritakan ke MinBuk dong,
bagaimana perasaanmu selepas menonton?
Hubungan mereka semakin bertambah pelik tatkala Pingkan
berhasil mendapatkan beasiswa ke Jepang. Sarwono bilang, ia tidak takut dan
tidak sedikitpun ragu atas cinta Pingkan. Melainkan lebih kepada seseorang yang
berada di Jepang, yaitu laki-laki yang biasa Sarwono panggil ‘Sontoloyo
Katsuo’.
Pada akhirnya Pingkan dan Katsuo semakin dekat, walaupun
Pingkan tidak serta-merta melupakan Sarwono. Di sisi lain, di Indonesia,
Sarwono berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa Pingkan akan terus
membersamainya. Di saat yang sama ia harus berjuang kuat melawan penyakit
paru-paru basah yang membuatnya batuk tak berkesudahan.
Novel ini berakhir dengan ending yang mengharukan, yaitu ketika Pingkan pulang dari Jepang
untuk studinya dan mendapatkan Sarwono tengah kritis karena flek di
paru-parunya. Pada akhir novel ini, terdapat pula sebuah puisi yang ditulis
oleh Pak Sapardi dan diberi judul "Tiga Sajak Kecil" yang dimuat di
koran, yang seakan-akan Sarwono-lah yang menulis sajak itu untuk Pingkan
sebelum ia koma.
Novel ini dianggap menggantung sebab di bab lima, hanya
dihadirkan dalam 2 halaman saja dengan memunculkan tiga sajak tadi. Tuh kan,
kalau habis dibahas di sesi Bicara Buku dan novelnya sudah difilmkan begini,
MinBuk jadi tergoda ingin menonton filmnya juga deh.
Satu lagi nih, permasalahan dalam hubungan dua sejoli ini tidak
hanya soal perginya Pingkan. Namun juga hubungan antara keluarga Pingkan yang
terjadi saat Sarwono berkunjung ke rumah Bibi Henny, tantenya Pingkan. Dalam
permasalahan ini menjadi semakin rumit karena keluarga Pingkan juga mendesak
Pingkan untuk mau dijodohkan dengan dosen muda yang telah kenal dengannya di
Manado, yaitu Tumbelaka.
Pada akhirnya, sebenarnya novel Hujan Bulan Juni ini masuk
ke dalam jajaran buku yang sayang kalau nggak coba kamu baca juga sih, Sobat
Buku. Apalagi kalau kamu sudah menonton filmnya duluan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar