Kamis, 08 Agustus 2024

Intip Cerita dari Novel Hujan Bulan Juni Karya Sapardi Djoko Damono

Mengetahui kalau novel Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono akan dibahas pada sesi Bicara Buku di awal bulan Agustus ini, MinBuk gembira sekali. Soalnya, selain merupakan hasil alih wahana dari puisi yang dibuat oleh Eyang Sapardi, novel ini juga sudah diadaptasi ke dalam sebuah film berjudul sama pada 2017 lalu.

novel hujan bulan juni

Sobat Buku, kamu sudah pernah nonton film Hujan Bulan Juni belum nih? Pemeran utamanya itu Adipati Dolken sama Velove Vexia lho. Nah, kalau sudah, apakah benang merah yang dihasilkan dalam filmnya akan segereget dengan novelnya yang kali ini diulas oleh Kak Rahmah?

Profil Novel Hujan Bulan Juni

Judul Buku            : Hujan Bulan Juni

Penulis                  : Sapardi Djoko Damono

Penerbit               : Gramedia Pustaka Utama

Tahun Terbit       : Cetakan ketujuh, Februari 2016

Tebal                     : 135 halaman

Blurb Buku Hujan Bulan Juni Karya Sapardi Djoko Damono

Bagaimana mungkin seseorang memiliki keinginan untuk mengurai kembali benang yang tak terkirakan jumlahnya dalam selembar sapu tangan yang telah ditenunnya sendiri.

Bagaimana mungkin seseorang bisa mendadak terbebaskan dari jaringan benang yang susun-bersusun, silang-menyilang, timpa-menimpa dengan rapi di selembar saputangan yang sudah bertahun-tahun lamanya ditenun dengan sabar oleh jari-jarinya sendiri oleh kesunyiannya sendiri oleh ketabahannya sendiri oleh tarikan dan hembusan napasnya sendiri oleh rintik waktu dalam benaknya sendiri oleh kerinduannya sendiri oleh penghayatannya sendiri tentang hubungan-hubungan pelik antara perempuan dan laki-laki yang tinggal di sebuah ruangan kedap suara yang bernama kasih sayang.

Tentang Novel Hujan Bulan Juni

Penulis itu, walau jatah usia di dunianya sudah habis, ia akan selalu hidup dalam karya yang diciptanya. Begitulah yang juga terjadi pada eyang kita, seorang sastrawan besar tanah air, Sapardi Djoko Damono.

Walau telah berpulang pada 2020 lalu, buktinya nih … masih saja ada yang membaca karyanya dan dibuat terhanyut oleh alur cerita juga pesan yang tersirat dalam karya tadi. Seperti yang dirasakan oleh Kak Rahmah, kemudian tertransfer pula perasaan tadi ke Yuni yang pada Bicara Buku sesi Jumat lalu mengambil peran sebagai moderator.

bahas novel hujan bulan juni

Bermula dari pertemuan Kak Rahmah dengan novel Hujan Bulan Juni yang dijumpainya di salah satu platform media sosial, membawa Kak Rahmah ikut membaca karya eyang SDD. Sampulnya unik, sebab judulnya dihadirkan serupa tulisan yang terhapus oleh air hujan.

Lewat desas-desus yang sampai ke telinga Kak Rahmah, novel ini dianggap kisahnya kurang greget. Apalagi penghujung ceritanya yang dibuat menggantung. Nah, bagaimana nih dengan kamu yang lebih dulu menonton filmnya, apakah akhir kisah Sarwono dan Pingkan pun sama?

Bicara soal gaya bertutur Sapardi Djoko Damono yang memang nyastra sekali, dalam versi novel hasil adaptasi puisi beliau yang juga berjudul Hujan Bulan Juni ini, kalimat yang disajikan pun panjang dan berkerut. Khas ya. Begitulah yang Kak Rahmah sampaikan.

Semisal pada halaman 44 dan 45 hanya berisi dua kalimat. Pertama, kalimat maha panjang yang ditulis dengan hati-hati tanpa satupun tanda baca. Sedangkan kalimat keduanya sesederhana : bahwa kasih sayang beriman pada senyap.

Menurut MinBuk sih, kalau membaca karya yang dialihwahanakan dari sebuah puisi begini, pun dengan kalimat yang panjang beserta pilihan kata yang cenderung puitis, butuh waktu sedikit lebih lama untuk memahami maknanya. Mungkin itu sih alasannya novel Hujan Bulan Juni disebut kurang gereget.

Tapi kan bahan bacaan apapun, bagus nggaknya ya kembali ke selera pembacanya nggak sih, Sobat Buku? Tiada book-shaming di antara kita ya … janji ya, Sobat Buku.

Lagipula … bisa jadi dari karya yang dianggap kurang gereget oleh beberapa pembaca, malah membuat seorang pembaca lain jatuh cinta. Ujungnya malah bertransformasi jadi pembaca setia dan segitu sukanya dengan buku, seperti salah satu member di Forum Buku Berjalan yang pernah menuangkan kisahnya dalam antologi Me, Myself, and Book : Ceritaku dan Buku, dimana karya yang membawa ia suka buku adalah puisi dari Sapardi Djoko Damono.

isi buku hujan bulan juni
dokumen pribadi Kak Rahmah

Balik ke sesi cerita Kak Rahmah tentang novel Hujan Bulan Juni. Ada yang unik nih yang Kak Rahmah temukan sepanjang membaca. Di halaman 44 dan 45 yang tadi Kak Rahmah ceritakan, penulisan dari paragraf keduanya hanya satu kalimat. Sementara paragraf pertamanya panjang sekali.

Selain keunikan tadi, di bab satu yang nggak begitu panjang, semua teks yang disajikan berbentuk narasi. Ada juga di halaman 39 sampai 43, dan justru hanya berisi dialog antara Pingkan dan Sarwono, dua tokoh utama dalam buku ini.

Novel Hujan Bulan Juni – seperti yang dimunculkan dalam blurb-nya -- menceritakan hubungan asmara antara Sarwono yang merupakan seorang dosen antropologi di Universitas Indonesia, dengan Pingkan yang merupakan seorang dosen Bahasa Jepang yang mengajar di perguruan tinggi yang sama. Hubungan keduanya diceritakan berjalan baik-baik saja, hingga suatu ketika saat Sarwono ingin lebih serius menjalani hubungan dengan Pingkan, ia merasa tidak dihargai oleh keluarga besar Pingkan, yang merupakan keluarga besar dari Minahasa, sedangkan Sarwono sendiri berasal dari Jawa. Dan tentu bisa ditebak, mereka beda agama.

Bisa dibilang ini hubungan percintaan antara pria sederhana dan kaku bernama Sarwono dengan gadis cantik dan pintar. Pingkan, perempuan yang berdarah blasteran dari dua suku: Jawa (Solo) dan Minahasa (Menado). Ada juga tokoh Toar sebagai kakak Pingkan sekaligus sahabat Sarwono. Dan dari sana kisah cinta mereka bermula.

Sarwono seorang Antropolog ini tengah disibukkan dengan pekerjaannya sebagai peneliti karena ia mendapatkan tugas tersebut dari dosen seniornya. Pingkan dan Sarwono sering bertemu maka keduanya saling jatuh cinta. Uniknya, cinta mereka dibumbui dengan obrolan yang remeh-temeh setiap kali sedang jalan bersama. Tetapi, justru sebab obrolan mereka itulah yang membuat keromantisan di antara keduanya semakin terbangun.

Oh ya, hubungan mereka tersebut juga ditentang oleh tante Henny dan tante Keke yang merupakan keluarga dari pihak Ayah Pingkan. Nah lho, bakalan banyak aral melintang sih ini, kalau dari penerawangan MinBuk.

Keduanya sama-sama dosen muda di UI. Namun, Sarwono dan Pingkan memiliki latar yang kontras dari sisi budaya, suku, bahkan agama. Sarwono berasal dari kota kecil di Solo yang sudah pasti orang Jawa, sedangkan Pingkan campuran dari Solo dan Manado. Sarwono dan Pingkan sebenarnya tidak mempermasalahkan keyakinan mereka masing-masing, namun aral itu justru datang dari pihak keluarga Pingkan.

Hubungan yang pelik antara Sarwono dengan keluarga besar Pingkan terjadi ketika Sarwono ditugaskan untuk melakukan rapat kerja ke Universitas Sam Ratulangi, Manado. Di Manado, Sarwono mengajak Pingkan ikut serta untuk menemaninya, dan di Manado pula Pingkan mengajak Sarwono untuk menemui keluarga besarnya.

Sarwono yang diceritakan gemar sekali menulis puisi, memiliki sikap yang setia kepada Pingkan. Meskipun di dalam cerita Sarwono acapkali terbaring sakit karena flek di paru-parunya. Benny, sepupu Pingkan, yang juga memiliki rasa kepada Pingkan, selalu berusaha membuat hubungan antara Sarwono dengan Pingkan segera berakhir. Namun karena kesetiaan antara Sarwono dengan Pingkan, Benny akhirnya menyerah dan lepas tangan.

Kalau MinBuk simak sih, dari novel Hujan Bulan Juni saja sudah bisa menyesakkan hati pembaca nih sepanjang membaca. Buat Sobat Buku yang sudah lebih dulu nonton film Hujan Bulan Juni, ceritakan ke MinBuk dong, bagaimana perasaanmu selepas menonton?

Hubungan mereka semakin bertambah pelik tatkala Pingkan berhasil mendapatkan beasiswa ke Jepang. Sarwono bilang, ia tidak takut dan tidak sedikitpun ragu atas cinta Pingkan. Melainkan lebih kepada seseorang yang berada di Jepang, yaitu laki-laki yang biasa Sarwono panggil ‘Sontoloyo Katsuo’.

Pada akhirnya Pingkan dan Katsuo semakin dekat, walaupun Pingkan tidak serta-merta melupakan Sarwono. Di sisi lain, di Indonesia, Sarwono berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa Pingkan akan terus membersamainya. Di saat yang sama ia harus berjuang kuat melawan penyakit paru-paru basah yang membuatnya batuk tak berkesudahan.

Novel ini berakhir dengan ending yang mengharukan, yaitu ketika Pingkan pulang dari Jepang untuk studinya dan mendapatkan Sarwono tengah kritis karena flek di paru-parunya. Pada akhir novel ini, terdapat pula sebuah puisi yang ditulis oleh Pak Sapardi dan diberi judul "Tiga Sajak Kecil" yang dimuat di koran, yang seakan-akan Sarwono-lah yang menulis sajak itu untuk Pingkan sebelum ia koma.

Novel ini dianggap menggantung sebab di bab lima, hanya dihadirkan dalam 2 halaman saja dengan memunculkan tiga sajak tadi. Tuh kan, kalau habis dibahas di sesi Bicara Buku dan novelnya sudah difilmkan begini, MinBuk jadi tergoda ingin menonton filmnya juga deh.

Satu lagi nih, permasalahan dalam hubungan dua sejoli ini tidak hanya soal perginya Pingkan. Namun juga hubungan antara keluarga Pingkan yang terjadi saat Sarwono berkunjung ke rumah Bibi Henny, tantenya Pingkan. Dalam permasalahan ini menjadi semakin rumit karena keluarga Pingkan juga mendesak Pingkan untuk mau dijodohkan dengan dosen muda yang telah kenal dengannya di Manado, yaitu Tumbelaka.

Pada akhirnya, sebenarnya novel Hujan Bulan Juni ini masuk ke dalam jajaran buku yang sayang kalau nggak coba kamu baca juga sih, Sobat Buku. Apalagi kalau kamu sudah menonton filmnya duluan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Rekomendasi 6 Tempat Bersantai yang Edukatif Ibukota: Gratis Loh!

Libur tlah tiba.. Libur tlah tiba... Mungkin itulah yang akan terlintas di benak sobat buku saat libur panjang seperti ini, bukan? Hmm, kira...