Sebuah obrolan santai yang dimoderatori oleh Kak Rahmah pada Kamis malam (18/9/2025) menjadi cermin betapa kuatnya dampak sebuah buku dalam membentuk cara pandang seseorang. Malam itu, fokusnya adalah buku "The Single Moms", sebuah karya yang ditulis oleh Ainun Chomsun, Budiana Indrastuti, Mia Amalia, dan Rani Rachami Moediarta. Namun, percakapan yang mengalir justru mengupas isu yang jauh lebih besar: peran buku di era di mana perhatian kita mudah teralihkan dan empati sering kali terkikis.
kak Zaitun Bening yang selaku pembicara dalam diskusi tersebut membuka percakapan dengan menyoroti inti dari buku "The Single Moms". Buku ini, menurutnya, bukan sekadar kumpulan cerita, melainkan sebuah potret nyata tentang perjuangan perempuan yang membesarkan anak seorang diri, tanpa kehadiran suami. Ia menggambarkan bagaimana para ibu tunggal ini harus berjuang melawan dua musuh sekaligus: kerasnya kehidupan dan tajamnya stereotip masyarakat.
“Teman-teman
pasti pernah dengar guyonan seperti ini, 'eh, dia itu janda loh!' Nah, kalimat
demikian sering dijadikan bahan candaan yang sebenarnya menyakitkan bagi
objek,” ujarnya, menirukan stigma yang sering kali dilekatkan pada perempuan
yang kehilangan pasangannya. Ia dengan tajam mengkritik standar ganda di
masyarakat. "Coba sekarang dibalik, laki-laki berstatus duda membesarkan
anak, ini merupakan hal yang harus dipuji... Coba dibalik lagi (untuk
perempuan), 'hati-hati, dia janda. Nanti suaminya digoda'. Seolah-olah janda
hanya sebatas penggoda laki orang," lanjutnya.
Apa
yang diungkapkan dalam diskusi sederhana ini adalah bukti nyata fungsi utama
buku: sebagai mesin empati. Di saat linimasa media sosial kita dipenuhi oleh
citra kehidupan yang sempurna dan serba indah, buku seperti "The Single
Moms" menarik kita ke dalam realitas yang berbeda. Ia memaksa kita untuk
berhenti sejenak, merenung, dan merasakan apa yang orang lain rasakan. Kita
tidak hanya membaca kata-kata di atas kertas, tetapi kita berjalan mengenakan
sepatu orang lain, merasakan kerikil tajam yang mereka injak setiap hari.
Inilah kekuatan literatur yang tidak bisa digantikan oleh video 15 detik atau
utas singkat di media sosial.
Lebih
jauh, diskusi tersebut juga menyoroti bagaimana buku mampu memberikan validasi
dan kekuatan. Pembicara mengaku tidak pernah membaca buku dengan isi seperti
ini sebelumnya, yang ia sebut "mengharukan dan menguatkan." Baginya,
pengalaman membaca buku ini memunculkan rasa syukur yang mendalam atas
kesempatan untuk memiliki pasangan hidup. "Sulit membayangkan menghidupi
diri bahkan anak atau orang tua di mana kita sebagai perempuan jadi tulang
punggung keluarga. Khususnya anak sulung," tuturnya. Perasaan ini,
perasaan "tidak sendirian" dalam menghadapi kesulitan, adalah salah
satu hadiah terbesar yang bisa diberikan oleh sebuah buku. Ia menjadi teman tak
bersuara yang mengerti, menguatkan, dan mengingatkan bahwa perjuangan kita
adalah bagian dari sebuah narasi kemanusiaan yang lebih besar.
Fenomena
ini menggarisbawahi sebuah kebutuhan krusial di era modern. Tingkat stres,
kecemasan, dan depresi terus meningkat, terutama di kalangan anak muda. Banyak
dari kita merasa terisolasi meskipun terhubung secara digital. Buku, dalam
konteks ini, berfungsi sebagai terapi sunyi. Membaca memungkinkan kita untuk
melepaskan diri sejenak dari tekanan dunia nyata, masuk ke dalam dunia lain,
dan kembali dengan perspektif yang lebih segar. Ini bukan lagi sekadar soal
hiburan, tetapi sudah menjadi bagian dari menjaga kewarasan dan kesehatan
mental. Saat kita membaca perjuangan seorang ibu tunggal, kita mungkin
menemukan kekuatan untuk menghadapi masalah di kantor. Saat kita mengikuti
petualangan fantasi, kita melatih imajinasi dan kreativitas yang bisa diterapkan
dalam kehidupan sehari-hari.
Ironisnya,
di zaman yang disebut sebagai "era informasi" ini, kemampuan kita
untuk menyerap informasi secara mendalam justru menurun. Kita terbiasa
melakukan scrolling tanpa henti, membaca judul tanpa memahami
isinya, dan bereaksi secara emosional terhadap potongan informasi yang belum
tentu utuh. Membaca buku adalah sebuah latihan perlawanan. Ia melatih otot-otot
konsentrasi kita. Untuk menyelesaikan satu bab saja, kita butuh fokus. Untuk
memahami alur cerita yang kompleks atau argumen yang berlapis, kita butuh
kesabaran dan pemikiran kritis. Kebiasaan ini secara langsung akan meningkatkan
kemampuan kita dalam menganalisis informasi, membedakan fakta dari opini, dan
tidak mudah termakan hoaks, karena sangatlah perlu hal tersebut menjadi sebuah keahlian yang sangat vital untuk bertahan di
tengah lautan disinformasi saat ini.
Diskusi
buku "The Single Moms" mungkin hanya sebuah acara kecil, tetapi
pesannya bergema luas. Ia mengingatkan kita bahwa di balik sampul setiap buku,
ada dunia yang menunggu untuk dijelajahi. Ada perspektif baru, pelajaran hidup,
dan yang terpenting, ada kesempatan untuk terhubung dengan kemanusiaan kita
sendiri secara lebih dalam. Di era di mana algoritma cenderung menyodorkan
konten yang seragam dan mengurung kita dalam "gelembung" pandangan
kita sendiri, buku justru menjadi pintu darurat untuk keluar dari gelembung
tersebut. Ia memperkenalkan kita pada ide-ide baru, budaya yang berbeda, dan
kehidupan yang tak pernah kita bayangkan.
Pada akhirnya, ajakan untuk kembali membaca buku bukanlah sebuah seruan nostalgia untuk menolak kemajuan teknologi. Sebaliknya, ini adalah sebuah strategi bertahan hidup di era digital. Ini adalah cara kita untuk tetap menjadi manusia yang utuh—manusia yang mampu berempati, berpikir kritis, dan memiliki ketenangan batin. Seperti yang direfleksikan dalam diskusi malam itu, membaca membuat kita "melek" terhadap dunia di sekitar kita dan bersyukur atas apa yang kita miliki. Dan di dunia yang serba bising ini, kesadaran dan rasa syukur adalah kemewahan yang tak ternilai harganya.
Identitas Buku
Judul buku: The Single Moms
Penulis: Ainun Chomsun, Budiana Indrastuti, Mia Amalia, Rani Rachami Moediarta
Penerbit: Buah Hati
Tahun: 2012
Halaman: 99 halaman
Sinopsis
Halo, Guys... Hari ini,
kita akan gerebek rumah Mamah Irene! Jadi, dandan dulu yaaa
soalnya kita akan bertemu
tiga anaknya Mamah Irene yang ganteng itu! Eh, eh, tapi apa itu ribut-ribut?
“Ini pada ke mana, sih?
Ayo katanya mau berangkat!”
“Sibuk. Lagi ngerjain
tugas Kimia, deadline-nya jam 9 malem ini! Tarawih di rumah aja!”
“Ngapain kamu ngerjain
tugas Kimia?! Orang kamu anak IPS juga! Cepetan keluar, jangan ngeles aja!!!”
“Geografi maksudnya, Mah!
Kepeleset!” “Jeka lagi sholat. Ini lagi ruku!!!”
“Kalau kamu lagi sholat,
ngapain ngomong sih ya batal dong, Jeng!!! Jangan bego-begoin
Mamah dah!!!”
“Jaenal enggak bisa ikut
ke masjid soalnya negara api menyerang!!!”
Uhm... sepertinya
keributan mereka akan bertahan lama... nikmati saja kali ya. Pokoknya, selamat
datang di rumah Mamah Irene! Selama seharian penuh, kita akan melihat kehidupan
Jaenal, June, dan Jeka yang sering mengusili mama cantiknya. Kalian bebas melakukan
apa saja di dalam rumah karena larangannya hanya satu: Jangan membawa kabur salah
satu dari tiga anak Mamah Irene meskipun mereka minta diculik!



Tidak ada komentar