Di era serba cepat seperti sekarang, hampir semua informasi mengalir lewat ponsel pintar. Namun, literatur digital maupun fisik masih memegang peran penting dalam membentuk kualitas generasi muda. Berdasarkan catatan Institut Statistik UNESCO yang di kutip oleh Medcom.id menyatakan dari 208 negara, Indonesia menempati posisi ke-100 dengan literasi mencapai 95,44 persen. Posisi itu masih kalah jika dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lain, seperti Filipina di posisi ke-88 dengan 96,62 persen, Brunei di posisi 86 dengan 96,66 persen, dan Singapura di posisi 84 dengan 96,77 persen.
Fenomena rendahnya minat baca ini terlihat jelas di
berbagai tempat. Perpustakaan sering kali sepi pengunjung, sementara kafe atau
pusat hiburan ramai dipadati generasi muda. Walau begitu, muncul juga tren
positif: toko buku daring dan aplikasi e-book yang semakin mudah diakses.
Bahkan sejumlah kampus dan komunitas literasi seperti Komunitas Forum Buku
Berjalan ini mengadakan program “Temu Buku Berjalan” dan “Bicara Buku” yang
diharapkan menjadi dorongan para generasi muda maupun yang telah dewasa bisa
membiasakan diri membaca, baik fiksi maupun nonfiksi.
Komunitas Buku Berjalan misalnya, yang saat ini kegiatan Buku Berjalan bersifat daring secara terpusat, namun ke depannya jika kondisi sudah memungkinkan, akan dibuat regional agar lebih fokus mengembangkan budaya membaca dan memaksimalkan manfaat buku milik anggota. Ada sekitar 51 anggota di Whatsapp Group yang tersebar di Jabodetabek, Kalimantan Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Sumatera Utara, Jawa Barat, Banten, Jogja, Jawa Timur, dan lain-lain. Program seperti ini menjadi jawaban atas tantangan era digital dengan memadukan kegiatan literasi dan gaya hidup milenial.
Menurut survei Perpustakaan Nasional 2025 yang dikutip
dari News,
rata-rata orang Indonesia hanya membaca buku 5–6 kali setahun, jauh di bawah
negara tetangga seperti Malaysia (12 kali) dan Singapura (14 kali). Rendahnya
akses terhadap buku murah dan berkualitas disebut sebagai faktor penghambat.
Meski begitu, pemerintah mulai meningkatkan anggaran pengadaan buku untuk
perpustakaan sekolah dan kampus, serta memberikan dukungan untuk gerakan
literasi masyarakat.
Penelitian
yang dilakukan Putri Oviolanda Irianto & Lifia Yola Febrianti, “Pentingnya
Penguasaan Literasi bagi Generasi Muda dalam Menghadapi MEA” (Prosiding The
1st Education and Language International Conference) menyatakan bahwa Literasi
kini tak lagi sebatas kemampuan membaca dan menulis, melainkan juga mencakup
keterampilan berpikir kritis, melek teknologi, politik, serta peka terhadap
lingkungan. Dengan kesadaran literasi yang tinggi, seseorang tidak hanya
memperoleh ilmu, tetapi juga mampu mendokumentasikan pengalaman sebagai rujukan
masa depan.
Melihat pentingnya membaca buku di era digital, berbagai pihak sepakat untuk memperkuat gerakan literasi dari rumah hingga kampus. Orang tua, guru, dan pengambil kebijakan diharapkan menjadi teladan dengan rajin membaca dan menyediakan akses buku yang mudah dijangkau. Dengan begitu, buku tetap bertahan sebagai jembatan ilmu, membentuk karakter bangsa, dan menjadi modal utama menghadapi masa depan.
Tidak ada komentar