Pelajaran Membangun Bangsa dari Visi Dirgantara Habibie

Share:

PESAWAT TERBANG adalah kebuluhan unluk negara kepulauan, seperti Indonesia. Jalan untuk mewujudkan mimpinya tidak selalu mudah. N-250 Gatotkaca kandas di tengah jalan. Habibie harus menerimanya. Namun. Habibie tetaplah Habibie. Sekali mau jadi insinyur, andai dilahirkan kembali pun dia tetap mau jadi insinyur. Begitu pula dengan mimpinya agar Indonesia punya pesawat terbang komersil sendiri, sampai kapan pun dia akan terus mengusahakannya. 

Di usia senja ini, semangat Habibie masih membara dan terus menyala. Tak ada yang bisa menghentikannya. Tahun 2012, Habibie kembali dengan gebrakan baru, R-80 penerus Gatotkaca. Atas nama cinta, Habibie terus bergerak untuk Indonesia. Atas nama cinta, Habibie akan terus mengalirkan inspirasi pada anak cucu intelektualnya. Bukan hanya tentang pesawat, buku ini juga melibat lebih dalam sisi kenegarawanan Habibie dan perjalanan spiritualnya. 

Bagaimana dia menempatkan diri di antara persahabatan dan profesionalisme. Juga tentang energi cinta. Anda akan menyelami kedalaman Habibie yang superjenius dan super romantis, Anda akan menemukan kunci-kunci hidup yang membuat Anda disegani kawan maupun lawan. Selamat membaca!

Proyek pesawat terbang yang ia gagas, terutama melalui Industri Pesawat Terbang Nurtanio (IPTN) yang kemudian menjadi PT Dirgantara Indonesia, bukanlah sekadar proyek ambisius seorang insinyur jenius. Itu adalah sebuah cetak biru (blueprint) edukasi dan strategi pembangunan bangsa.

Mempelajari kisah di balik pesawat N-250 Gatotkaca dan CN-235 bukan hanya soal teknis aviasi, melainkan soal pelajaran tentang modal manusia, strategi industri, dan kemandirian teknologi. Pelajaran edukasi pertama dari visi Habibie adalah pemahamannya yang mendalam tentang geopolitik Indonesia. Ia sadar betul bahwa Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Dengan lebih dari 17.000 pulau, tantangan terbesar kita adalah konektivitas.

Ia membayangkan sebuah ekosistem di mana pulau-pulau terluar dapat terhubung dengan cepat ke pusat-pusat ekonomi. Untuk mewujudkannya, Indonesia tidak bisa selamanya bergantung pada pembelian pesawat dari Boeing, Airbus, atau Fokker. Kita harus bisa memproduksi sendiri pesawat commuter jarak pendek hingga menengah yang sesuai dengan karakteristik landasan pacu di daerah-daerah terpencil.

Lantas, Hal ini menimbulkan sebuah rekomendasi kepada kita untuk membaca salah satu karyanya yang berjudul "Pesawat Habibie"

Tidak ada komentar