Pada
pekan ke-III Oktober, Jumat (10/10) yang lalu, Forum Buku Berjalan (FBB)
kembali menggelar Bincang Buku di WAG. Bila sebelumnya, bincang buku membahas
tentang buku kesehatan mental, kali ini akan membahas buku fiksi sejarah yang
berlatar sekitaran tahun 1918-1928 di Batavia, tepatnya di STOVIA.
Yaps, STOVIA merupakan sekolah kedokteran pertama di Indonesia, yang berdiri pada tahun 1851. Kala itu, kehadiran STOVIA tak terlepas dari kebutuhan akan tenaga medis pribumi dalam membantu pelayanan kesehatan di Hindia Belanda. Nah, dalam bincang buku kali ini, Kak Yuni selaku moderator menemani Kak Geeta Anjani yang akan mengajak pembaca menelusuri kehidupan di STOVIA dari buku yang diulasnya, yakni Romansa STOVIA.
Blurd
Kadang-kadang kita jatuh cinta kepada milik orang, kadang-kadang kepada orang yang berbeda. Dan yang ia hadapi adalah keduanya, komplet menjadi satu. Mengapa manusia selalu tergerak hatinya untuk meraih ketidakmungkinan?
***
Batavia,
1918. Yansen, pemuda Minahasa, hendak mewujudkan mimpi menjadi dokter di tanah
air sendiri. Bersama Hilman pemuda Sunda, Sudiro pemuda Jawa, dan Arsan pemuda
Minang, Yansen menemukan ikatan persahabatan di STOVIA. Masa lalu masing-masing
tokoh turut membayangi perjalanan mereka selama belajar di sekolah kedokteran
pertama di Hindia Belanda itu.
Fiksi berlatar Hindia Belanda di awal abad ke-20 ini menceritakan bagaimana empat sekawan itu saling mendukung kala mereka menghadapi masalah hidup masing-masing. Manakah hal yang harus Yonsen pilih? Cinta, sahabat, atau kebanggaan menjadi dokter pada suatu hari nanti?
Identitas
Buku
Judul: Romansa
Stovia
Penulis: Sania
Rasyid
Halaman:
360 Halaman
Tahun
Terbit: 2024
Penerbit:
Kepustakaan Populer Gramedia
Berkenalan
Lebih Dekat dengan Romansa STOVIA
![]() |
| Sumber gambar: Kak Geeta Anjani |
Novel yang mengambil sudut pandang tokoh Aku—Yansen, pemuda berdarah Belanda-Minahasa—akan mengajak pembaca untuk menyelami kehidupannya bersama ketiga sahabatnya, yang berasal dari berbagai wilayah di Indonesia selama menempuh pendidikan kedokteran di STOVIA.
Seperti yang disinggung di awal, STOVIA berasal dari singkatan Opleideing
Van Inlandsche Artsen atau Sekolah Pendidikan Dokter Bumiputera. Pada masa
pendidikan ini, Yansen tak hanya menahan kerinduan akan kampung halamannya. Melainkan
juga bersama ketiga sahabatnya mengalami berbagai tantangan, sekaligus berbagi
suka-duka.
Novel ini
tak hanya memotret sisi personal para karakter tokoh dalam berjuang selama
menempuh pendidikan. Namun, juga menyoroti senioritas maupun diskriminasi yang
eksis di lingkaran STOVIA. Hal ini terlihat dari beberapa bentuk diskriminasi
yang kerapkali dilabelkan kepada seseorang berdasarkan latar belakang etnis. Hal
ini diungkapkan oleh Kak Geeta, “Misalnya, mahasiswa Jawa tidak boleh
menggunakan sepatu selama di lingkungan STOVIA, mahasiswa yang Muslim tidak
boleh merayakan hari raya di lingkungan sekolah.”
Selain menyoroti kehidupan Yansen dan ketiga sahabatnya dalam urusan pendidikan, novel ini juga menyajikan keruwetan hidup empat tokoh tersebut. Mulai dari kisah percintaan yang berliku-liku, drama keluarga, luka masa lalu, hingga tragedi yang turut mewarnai kehidupan mereka. Hal ini tentu menguatkan ikatan persahabatan antar tokoh yang saling mengenal satu sama lain, saat mengalami “perploncoan” para senior yang berujung menjadikan mereka dekat satu sama lain.
Kelebihan
Romansa STOVIA
Novel ini menyajikan sejarah dibalik eksisnya STOVIA, sekolah kedokteran yang menjadi cikal-bakal fakultas kedokteran Universitas Indonesia. Pesan penting dalam novel ini, menggemakan pesan persatuan melalui keempat tokoh yang memiliki latar belakang etnis, agama dan status sosial yang berbeda. Perbedaan tersebut melahirkan rasa menjunjung tinggi toleransi dan solidaritas antar sesama mereka. Terutama dalam situasi kala itu, curang kesenjangan antar orang Belanda dan Pribumi, baik kaya maupun miskin sangat kental.
Lebih
lanjut, Kak Geeta mengungkapkan, “Aku salut kepada penulis yang melakukan riset
mendalam selama menulis novel ini. Gak cuma sekedar seputar STOVIA aja tapi
juga ilmu kedokterannya. Karena mengambil latar belakang sejarah, tentu aja
buku ini juga menggunakan beberapa istilah-istilah tempo dulu. Mulai dari
nama-nama kota, tempat, dan istilah-istilah historis lainnya lainnya.”
Hal
menarik lainnya dari novel ini, saat Penulis juga menyajikan bahasa daerah yang
digunakan Yansen, maupun kawannya, saat mereka berkomunikasi dengan keluarga
maupun dalam keseharian. Untuk para tokoh, mereka saling berkomunikasi dengan
menggunakan bahasa Indonesia.
Tentu
hal ini kian menegaskan posisi Romansa STOVIA sebagai buku fiksi sejarah, yang
bisa dijadikan rekomendasi bacaan yang mengusung sejarah Indonesia. Secara
keseluruhan, walaupun bertema sejarah, menurut Kak Geeta, Romansa STOVIA bisa
menjadi bacaan yang ringan dan menyenangkan untuk dibaca.
Menarik, kan? Diantara Sobat Buku,
adakah yang sudah membaca novel ini? Yuk, bagikan pengalaman membaca Romansa
STOVIA di kolom komentar! Sampai jumpa lagi di Bincang Buku berikutnya!
.png)


Tidak ada komentar