Mengubah 'kewajiban' membaca buku tebal menjadi 'petualangan' intelektual yang menyenangkan. Ini caranya.
Mari kita jujur. Berapa banyak dari kita yang memiliki
"tumpukan rasa bersalah" di meja samping tempat tidur? Tumpukan itu
berisi buku-buku non-fiksi tebal yang kita beli dengan niat mulia. Kita membelinya dengan
semangat, membayangkan diri kita menjadi lebih bijak, lebih berwawasan.
Lalu, realitas datang.
Minggu berganti bulan, buku itu tak bergeser. Sampulnya
mulai berdebu, dan ia beralih fungsi dari sumber ilmu menjadi sekadar pajangan
interior atau, yang lebih menyedihkan, pengganjal pintu.
Membaca buku non-fiksi memang terasa berbeda. Jika novel
adalah sebuah pelarian yang mengalir seperti film, buku non-fiksi sering terasa
seperti pekerjaan. Padat, butuh konsentrasi, dan (mari akui) kadang
membosankan.
Tapi, bagaimana jika kita salah mendekatinya selama ini?
Membaca non-fiksi bukanlah lari maraton yang harus diselesaikan dari garis start
ke finish dalam satu waktu. Ia lebih mirip sebuah treasure hunt
atau penjelajahan. Anda tidak perlu mengikuti semua jalan setapak; Anda hanya
perlu menemukan harta karunnya.
Berikut adalah beberapa "seni" atau tips untuk
mengubah cara pandang kita dalam menaklukkan buku non-fiksi.
1. Buang Aturan "Wajib Baca Berurutan"
Caranya: Saat pertama kali memegang buku, jangan
mulai dari Bab 1. Buka daftar isi. Lihat bab mana yang judulnya paling menarik
atau paling relevan dengan alasan Anda membeli buku itu. Baca bab itu terlebih
dahulu. Tidak masalah jika itu Bab 7 dari 10 bab. Anda adalah bosnya, bukan
penulisnya.
2. Pahami "Mengapa" Anda Membaca Buku Ini
Sebelum membaca halaman pertama, tanyakan pada diri sendiri:
"Apa yang saya cari dari buku ini?"
Apakah Anda ingin mempelajari satu keterampilan spesifik?
(Misalnya, cara bernegosiasi dari buku Never Split the Difference).
Apakah Anda hanya ingin tahu garis besar sebuah peristiwa sejarah? (Seperti
dari buku Sapiens).
"Mengapa" Anda adalah kompas Anda. Jika tujuan
Anda hanya ingin tahu inti argumen penulis, Anda tidak perlu membaca setiap
studi kasus atau data pendukung yang ia jabarkan di setiap bab.
3. Lakukan "Pratinjau 5 Menit"
Jangan langsung menyelam ke paragraf pertama yang padat.
Lakukan pemanasan.
Caranya: Luangkan lima menit untuk memindai (scan)
buku tersebut. Baca Pendahuluan dan Kesimpulan (atau Bab
Terakhir) terlebih dahulu. Aneh? Tidak juga. Melakukan ini memberi Anda
gambaran utuh tentang argumen utama sang penulis. Anda jadi tahu ke mana arah
buku ini.
Setelah itu, pindai setiap bab: baca judul sub-bab, lihat
gambar atau diagram, dan baca satu-dua kalimat pertama dan terakhir dari
beberapa paragraf. Dalam sekejap, Anda sudah "memetakan" seluruh isi
buku.
4. Jadikan Buku Sebagai "Lawan Bicara"
Membaca non-fiksi adalah aktivitas aktif, bukan pasif. Anda
tidak sedang menerima informasi, Anda sedang bergulat dengan
informasi. Cara terbaik untuk melakukannya adalah dengan berdialog.
Siapkan pulpen, stabilo, atau sticky notes.
- Garis bawahi kalimat yang membuat Anda terkejut.
- Lingkari kata yang tidak Anda mengerti (untuk dicari nanti).
- Tulis di margin. Tuliskan pertanyaan Anda ("Tapi bagaimana jika...?") atau ketidaksetujuan Anda ("Saya rasa ini tidak berlaku di Indonesia").
Buku yang penuh coretan bukanlah buku yang rusak. Itu adalah
buku yang dihormati, buku yang telah memicu pemikiran.
5. Terapkan Aturan 15 Menit
Alasan klasik: "Saya tidak punya waktu." Kita
sering berpikir harus meluangkan 2-3 jam non-stop untuk membaca buku
"berat".
Itu keliru. Konsistensi jauh mengalahkan durasi.
Lebih baik membaca 15 menit setiap hari dengan fokus penuh,
daripada mencoba membaca 3 jam di akhir pekan sambil terdistraksi ponsel. Lima
belas menit membaca buku non-fiksi sebelum tidur atau saat sarapan akan
memberikan "nutrisi" otak yang lebih mudah meresap.
6. Berani untuk Berhenti (The Art of Quitting)
Ini mungkin tips yang paling membebaskan. Anda tidak
wajib menyelesaikan setiap buku yang Anda mulai.
Hidup terlalu singkat untuk dihabiskan pada buku yang buruk
atau buku yang tidak "berbicara" kepada Anda saat ini. Jika Anda
sudah membaca 50-100 halaman dan Anda merasa tersiksa, tidak mendapat
pencerahan apa pun, atau simplesmente bosan setengah mati—tutup buku itu.
Itu bukan kegagalan. Itu adalah kurasi. Anda hanya sedang
memilah dan memutuskan bahwa waktu Anda lebih berharga untuk buku lain.
Penutup: Ini Bukan Ujian
Pada akhirnya, tujuan membaca buku non-fiksi bukanlah untuk
pamer di media sosial bahwa Anda telah "selesai" membaca buku tebal.
Tujuannya adalah untuk mencuri satu, dua, atau mungkin tiga ide brilian dari
pikiran penulis dan menerapkannya dalam hidup Anda.
Perlakukan buku non-fiksi sebagai alat, sebagai mentor yang
bisa Anda datangi kapan saja. Ambil apa yang Anda butuhkan, tinggalkan sisanya.
Dengan begitu, tumpukan buku di meja Anda tidak lagi menjadi simbol rasa
bersalah, melainkan sebuah perpustakaan pribadi yang siap memberi wawasan kapan
pun Anda membutuhkannya.
Selamat menjelajah, ya!

Tidak ada komentar