Selasa, 04 Maret 2025

Sejauh Mana Jejak Kekhalifahan Turki Utsmani di Nusantara?

Sebuah pertanyaan melintas di benak Minbuk ketika mendapati kalau sesi Bicara Buku akan menghadirkan Kak Hafizh yang membawakan ulasan mengenai buku sejarah Jejak Kekhalifahan Turki Utsmani di Nusantara. Wah, Sobat Buku penyuka buku sejarah pasti suka nih. Begitulah yang lekas Minbuk bayangkan.

Apalagi kan, Kak Hafizh saat ini tengah mendalami ilmu Sejarah di Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Selain itu, Kak Hafidz pun kini menjabat sebagai PJ Kelas Buku di Forum Buku Berjalan. Maka, sesi Bicara Buku malam itu Minbuk prediksi akan berjalan seru dan berisi.

Tentu, pertanyaan tersebut pula yang kemudian Minbuk jadikan sebagai judul dari artikel Bicara Buku kali ini. Sejauh mana sih jejak kekhalifahan Turki Utsmani tersebut di Nusantara yang dimunculkan dalam buku karya Deden A. Herdiansyah ini?

Profil Buku Sejarah Jejak Kekhalifahan Turki Utsmani di Nusantara

Judul               : Jejak Kekhalifahan Turki Utsmani di Nusantara (Menyelisik Hubungan Dua Bangsa Besar di Masa Silam)

Penulis             : Deden A. Herdiansyah

Penerjemah    : Irin Hidayat

Penerbit          : Pro-U Media

Edisi                 : Cetakan pertama, 2017

Tebal                : 240 halaman

ISBN                 : 978-602-7820-78-4

Genre               : nonfiksi, sejarah

Blurb Buku Jejak Kekhalifahan Turki Utsmani di Nusantara Karya Deden A. Herdiansyah

Buku ini merupakan buah dari ikhtiar untuk memotret hubungan dua bangsa besar di masa lalu, yaitu Turki Utsmani dan Nusantara. Sebagai penguasa dunia Islam, Turki Utsmani telah memberi pengaruh yang kuat terhadap wilayah-wilayah Islam yang tersebar di tiga benua (Asia, Afrika, dan Eropa), baik dalam konteks politik, militer, maupun budaya.

Kebesaran dan kewibawaannya menjadi tonggak bagi bangsa-bangsa Muslim yang sedang berhadapan dengan kekuatan negara-negara imperialis Eropa. Selama berabad-abad, kewibawaan Turki Utsmani tetap terpatri dalam benak bangsa Indonesia meskipun dalam suasana yang pasang-surut.

Para penguasa Aceh terus menjalin hubungan dengan Turki Utsmani melalui utusan-utusan yang dikirim ke Istanbul. Di Jawa, Turki Utsmani tampil dengan citra keagungan yang dikagumi oleh para penguasanya sehingga pengaruhnya merasuk dalam karya-karya sastra, politik, simbol raja, dan semangat perjuangan pasukan Diponegoro.

Bahkan, hingga awal abad ke-20, masih didapati jejak-jejak Turki Utsmani di Indonesia, yakni saat rakyat Indonesia tengah berjuang meraih kemerdekaannya. 

Hubungan yang terjalin di masa lalu ini, harus tetap dijaga dalam ingatan sejarah bangsa. Bagaimanapun juga, Turki Utsmani pernah mewarnai sejarah perjuangan bangsa. Di samping itu, sebagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim terbesar di dunia, bangsa Indonesia patut bersyukur karena pernah merasakan naungan kekhalifahan Islam, Turki Utsmani. 

Ketertarikan Kak Hafizh pada Kesultanan Turki Utsmani

Melalui hasil kulik dari Kak Ayu selaku moderator di sesi Bicara Buku malam itu, ada kisah yang mengalir dari Kak Hafizh tentang perjumpaannya dengan buku ini. Tentu saja, Minbuk dan Sobat Buku yang hadir, jadi penasaran. 

Rupanya, Kak Hafizh memang tengah tertarik mempelajari tentang sejarah Kesultanan Turki Utsmani, terutama di puncak masa kejayaan negeri imperium tersebut. Kak Hafizh mengisahkan kalau sebelumnya dirinya hanya berfokus untuk menemukan buku yang mengangkat kisah sejarah mengenai Turki Utsmani saja. Hingga kemudian dirinya berjumpa dengan buku ini.

Maka, dari sanalah, perjalanan Kak Hafizh untuk mendapatkan banyak sekali pengetahuan baru mengenai hubungan dan pengaruh negeri Turki Utsmani selaku mperium Islam di masa itu, dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara.

Sedikit Cuplikan Tentang Turki Utsmani di Nusantara

Pada bagian awal atau prolog di buku Jejak Kekhalifahan Turki Utsmani di Nusantara, dipaparkan bahwa Turki Utsmani merupakan negara kekhalifahan Islam terbesar di dunia. Pengaruhnya tentu cukup kuat, baik dalan konteks politik, militer, maupun budaya terhadap wilayah maupun negara Islam di Asia. Salah satunya tentu saja Nusantara.

Selama berabad-abad, kewibawaan Turki Utsmani menjadi tonggak harapan bagi masyarakat Nusantara dalam menghadapi kekuatan negara imperialis Eropa. Meskipun dalam suasana yang pasang-surut.

Pada bagian awal buku karya Deden A. Herdiansyah ini, dijelaskan bagaimana awal mula berdirinya Kesultanan Turki Utsmani pada tahun 1300. Wilayahnya mencakup Turki. Namun, lambat laun meluas ke wilayah-wilayah lain.

Semenjak penaklukan Konstantinopel pada tahun 1453, wilayah Turki Utsmani kemudian semakin meluas ke bagian tenggara Eropa. Bahkan sepanjang abad ke-16, Turki Utsmani memiliki wilayah kekuasaan dan negeri bawahan yang amat luas. Mulai dari jazirah Timur Tengah, Eropa, hingga Afrika Utara.

Tentu saja, dengan wilayah yang seluas itu, Turki Utsmani turut terlibat dalam hubungan internasional dengan bangsa-bangsa lain di dunia, tak terkecuali hingga di Asia Tenggara. Nah, di wilayah inilah ada Nusantara.

Hubungan yang terjalin antara Nusantara dan Turki Utsmani nggak bisa terlepas dari posisi strategis wilayah kita ini. Di sisi lain, kekayaan alam Nusantara pun kemudian mencipta ambisi dari bangsa Eropa untuk berebut wilayah Nusantara ini.

Nah, usaha bangsa Eropa yang menguasai wilayah Nusantara yang kemudian membuat kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara nggak tinggal diam. Dengan 'rasa cinta tanah air', mereka menjalin hubungan dengan Turki Utsmani untuk memperkuat militer dan meningkatkan kewibawaan politik.

Wilayah di Nusantara yang Bergandengan dengan Turki Utsmani

Kak Hafizh melanjutkan penuturannya tentang buku Jejak Kekhalifahan Turki Utsmani di Nusantara ini. Ia berlanjut membahas bab lanjutannya.

Dalam buku ini, diterangkan bahwa di Sumatra, Kesultanan Aceh mengirimkan utusannya secara langsung ke Istanbul pada abad ke-16. Tujuannya untuk meminta bantuan kepada Sultan Turki Utsmani kala itu, Sultan Suleiman I, guna menghadapi kekuatan Portugis di Selat Malaka, dan menjadikan Aceh sebagai vasal (negeri bawahan) Turki Utsmani.

Upaya ini pun menunjukkan kalau Kesultanan Aceh mengakui kekuasaan Turki Utsmani. Pun kemudian utusan dari Aceh tadi ditertima dengan baik oleh Sultan Suleiman I dan permintaan negeri Aceh pun dikabulkan dengan dikirimnya pasukan Turki, para instruktur militer, hingga persenjataan meriam.

Nah, demikianlah. Hubungan kedua kerajaan ini terjalin selama ratusan tahun. Hingga pada akhirnya, Kesultanan Turki Utsmani mengalami kemunduran.

Beralih ke Pulau Jawa. Para penguasa Islam di tanah Jawa lebih berfokus pada penguatan legitimasi kekuasaan, ketimbang menjalin kerjasama militer untuk menghadapi negara-negara imperialis Eropa.

Raja-raja Jawa hanya menganggap hubungan dengan Turki Utsmani hanyalah untuk mendapatkan gelar 'sultan' bagi raja sebagai keturunan Rasulullah SAW melalui pengiriman utusan ke Mekkah daripada pengakuan kekuasaan Turki Utsmani secara politik. Secara konkret, belum tercatat dalam sejarah penguasa Islam Jawa mengirim utusan langsung ke Istanbul dalam rangka membangun hubungan politik-militer seperti halnya Kesultanan Aceh.

Ketika Turki Utsmani Memudar di Pandangan Nusantara

Kewibawaan Turki Utsmani perlahan memudar dalam pandangan masyarakat Nusantara. Hal ini disebabkan akibat kondisi internal pemerintahan Turki yang nggak kondusif akibat gerakan separatis dan tekanan dari kaum sekuler semenjak abad ke-19. 

Demi mempertahankan kekhalifahan, Turki Utsmani di bawah pimpinan Sultan Abdul Hamid II menyebarkan gagasan Pan-Islamisme dan politik Arabisasi.

Melalui peran konsulat Turki Utsmani di Batavia pada akhir abad ke-19, masyarakat keturunan Arab di Nusantara menyambutnya secara antusias dengan harapan Turki Utsmani melakukan inervensi terkait diskriminasi orang-orang keturunan Arab di Nusantara oleh pemerintah kolonial Belanda.

Masyarakat keturunan Arab di Batavia ini, mengirimkan anak-anak mereka untuk melanjutkan pendidikan mereka di Istanbul yang biayanya ditanggung oleh pemerintah Turki Utsmani. Semangat Pan-Islamisme tadi, tentu menimbulkan ancaman serius bagi pemerintahan kolonial Belanda. Hingga kemudian, pihak Belanda mendesak Turki Utsmani untuk memulangkan konsulat mereka ke Istanbul.

Sayangnya, walaupun telah berjuang mempertahankan kekuasaan melalui ideologi Pan-Islamisme, nyatanya Turki Utsmani tetap meluncur menuju jurang kehancuran. Akibat kalah dalam Perang Dunia I yang berimbas pada didudukinya wilayah kekuasaan Turki Utsmani oleh Inggris dan Prancis, membuat posisi Sultan selaku penguasa politik nggak dapat dipertahankan.

Maka, pada 3 Maret 1924, Kesultanan Turki Utsmani tumbang, serta institusi kekhalifahan Turki Utsmani dihapuskan. Bentuk pemerintahannya pun beralih ke sistem republik di bawah pimpinan Mustafa Kemal Attaturk.

Runtuhnya Turki Utsmani kemudian mendapat respon beragam dari umat Islam di Nusantara. Para ulama dan tokoh-tokoh pergerakan Islam, baik golongan kaum reformis maupun tradisional, turut bereaksi dengan mengadakan pertemuan serta kongres guna mendiskusikan peran khalifah dalam perjuangan umat Islam pada sepanjang dekade 1920-an. 

Kemudian, kongres tersebut menghasilkan bentukan Komite Khilafah yang merumuskan rekomendasi untuk disampaikan pada Kongres Umat Islam Internasional di Kairo dan Mekkah. Walaupun upaya mereka nggak berdampak signifikan bagi kelanjutan nasib khilafah, tapi upaya tersebut menjadi bukti sejarah atas perhatian umat islam Indonesia pada perkembangan pasca runtuhnya Turki Utsmani.

Wah .... Kak Hafizh mengupas buku Jejak Kekhalifahan Turki Utsmani di Nusantara dengan seru sekali. Bahkan Minbuk sempat terpikir, apakah menu-menu khas Nusantara, ambil contoh saja di kawasan Batavia yang ala-ala Timur Tengah, juga akibat pengaruh tersebut ya. Hmm ... apakah kalau Sobat Buku melanjutkannya dengan baca buku Jakarta : A Dining History, bisa menemukan sedikit banyak jawabannya? 

Kalau menurut kamu, bagaimana, Sobat Buku? Apa kamu tertarik membahas buku ini lebih lanjut bersama Kak Hafizh? Atau malah tergoda untuk ikutan baca bukunya juga?

Sebagai penutup sekaligus kesimpulan, Kak Hafizh menyampaikan kalau buku Jejak Kekhalifahan Turki Utsmani di Nusantara ini, menunjukkan kalau masa lalu masyarakat Nusantara cukup menjalin hubungan aktif dengan Turki Utsmani. Dimulai dari abad ke-16.

Pengaruh Turki Utsmani di Nusantara pun sampai abad ke-19 masih cukup besar, meskipun kewibawaannya meredup. Walaupun mengalami pasang-surut, hubungan masa lalu ini perlu tetap dijaga dalam ingatan sejarah bangsa yang pernah mewarnai perjalanan sejarah Indonesia.

Melalui jejak yang ditinggalkan, bangsa Indonesia patut bersyukur karena pernah memperoleh naungan dari Kesultanan Turki Utsmani sebagai negara imperium Islam terbesar di dunia. Sebuah sejarah yang patut untuk terus dipahami oleh generasi kita di masa sekarang nih, Sobat Buku.


Kontributor : Akarui Cha

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Baitul Maqdis for Dummies : Mengenal Lebih Jauh Negeri Para Nabi

Siang itu, Kak Ani selaku pengulas dari buku Baitul Maqdis for Dummies karya Felix Y. Siauw langsung melempar sapa sekaligus tanya, sejauh m...