Sobat Buku, pernah terpikir kalau sejarah suatu bangsa sesungguhnya banyak dikuasai oleh kaum penguasa? Apa yang terjadi, ada kalanya dibelokkan dan diubah sedemikian rupa sesuai kebutuhan dari suatu kaum. Bila kamu membaca buku Pembebasan Perempuan karya Deirdre Hogan dan Sara M. Evans ini, bisa jadi pemahaman demikian akan segera merasuk dalam pemikiranmu.
Menurut Kak Sikna Aurel R. selaku pengulas buku bersampul
dominasi merah dan putih ini kepada Kak Rahmah yang kembali bertindak sebagai
moderator seperti sesi bicara buku beberapa waktu lalu, buku nonfiksi yang
diterjemahkan oleh Snatch.Klktv ini
termasuk buku yang cukup tipis namun isinya sungguh tebal padat berisi.
Hmm … kan MinBuk juga jadi penasaran, Sobat Buku. Memangnya apa saja sih insight yang bisa diintip dari sesi Bicara Buku yang diadakan pada Whatsapp Group Forum Buku Berjalan pada minggu lalu? Yuk lah, duduk manis dan mari kita kepoin.
Profil Buku Pembebasan Perempuan
Judul :
Pembebasan Perempuan (Feminisme, Revolusi Kelas, dan Anarkisme)
Penulis :
Deirdre Hogan, Sara M. Evans
Penerbit :
Pustaka Osiris
Rilis :
Agustus 2020
Tebal :
59 halaman
Blurb Pembebasan Perempuan Karya Deirdre Hogan
Sebagai ekspresi dari Kiri Baru, pembebasan perempuan
diilhami oleh model-model revolusi anti-kolonial dan oleh Black Power,
model-model yang sering memiliki makna berbeda untuk perempuan kulit putih dan
perempuan kulit hitam.
Tetapi seberapa realistiskah akhir penindasan perempuan di
bawah kapitalisme? Ada banyak cara di mana perempuan ditekan sebagai jenis
kelamin dalam masyarakat saat ini –secara ekonomi, ideologis, fisik, dan
sebagainya—dan kemungkinan bahwa melanjutkan perjuangan feminis akan mengarah pada
perbaikan lebih lanjut dalam kondisi perempuan.
Ulasan Buku yang Angkat Feminisme, Revolusi Kelas, dan Anarkisme
Malam itu, selepas membuka sesi diskusi tentang buku yang
Kak Sikna bawa untuk dikisahkan tentang pengalamannya membaca, Kak Rahmah lekas
menjabarkan kalau buku nonfiksi ini hadir dengan kata kunci feminisme,
revolusi, dan anarkisme. Serta-merta, Kak Rahmah pun mengungkapkan kalau ia
sangat ingin fokus membahas buku tipis ini di sisi sudut pandang ‘feminisme’.
Di sisi lain, Kak Sikna pun menyampaikan kalau buku yang ia
baca kali ini memanglah tipis. Namun, isinya yang cukup berat, mengajaknya
membaca setiap kalimat, paling nggak ya sebanyak dua kali.
Nah kan, MinBuk merasa beruntung nih bisa menyimak langsung sesi
bicara buku yang cukup ‘daging’ kali ini. Ehe … tenang, MinBuk nggak pilih
kasih kok. Sesi Bicara Buku FBB banyak juga yang insight-nya mengajak sesama pembaca jadi ikutan belajar lagi,
semisal buku Jakarta
: A Dining History.
Kemudian nih Sobat Buku, apa saja sih yang bisa dikulik dari
buku Pembebasan Perempuan karya Deirdre Hogan yang Kak Sikna bawa? Jadi ….
Menurut buku ini, pembebasan perempuan merujuk pada
aktivitas yang dilakukan oleh orang-orang Chicago yang pada awalnya
memperjuangkan hak wanita. Nah, kebanyakan mereka adalah kaum berkulit putih
dan strata sosialnya menengah ke atas.
Pembebasan perempuan itu maksudnya apa? Mereka para aktivis
ini memperjuangkan hak kerja wanita, hak pilih, dinamika kekuasaan, ideologi gender,
dan yang paling sering dibahas adalah perempuan kulit hitam.
Seperti yang umum diketahui ya, bahwa di Amerika sana orang
dengan kulit hitam utamanya perempuan, sangat sering didiskriminasi. Inilah salah
satu alasan utama yang menggerakkan para aktivis tersebut.
Sebenarnya konotasi pembebasan perempuan ini dinilai positif,
pada awalnya nih, Sobat Buku. Namun, ketika ada istilah feminism, mulailah bermunculan
stigma negative. Nah lho, kamu baru tahu? MinBuk juga.
Saat istilah feminisme dipakai, kebanyakan pakar lebih
mengembangkan teoritis ketimbang aktivitas gerakan sehingga saat ini gerakan
perempuan tidak terlalu dilirik. Terlebih biasanya kaum LGBT (lesbian utamanya)
menggunakan forum ini untuk menyuarakan semangat toleransi terhadap mereka.
Ini nih si biang rusuh yang sukses memperparah stigma
masyarakat tentang feminisme yang terlalu liberal dan radikal. Ya kelihatan
juga sih jejak-jejak jahil si kaum pelangi hingga hari ini.
Kemudian muncul juga bahwa gerakan perempuan biasanya diisi
dengan kegalakan, membenci pria, jelek, dan anti seks atau over seks (lesbian).
Pernah kamu mendapati fenomena begini baik di media sosial maupun komunitas
lainnya, Sobat Buku?
Nah menurut penulis buku, inilah yang seharusnya diluruskan
dengan sejarah tentang feminisme. Supaya
tidak ada lagi permasalahan gender dalam segala sektor pun segala rupanya yang
dilabeli stigma negatif. Feminisme itu menekankan pada "peran" dimana
seharusnya semua aspek kehidupan tidak terpengaruh oleh sex.
Kembali menurut Kak Sikna, buku berjudul Pembebasan
Perempuan ini patut untuk dibahas sebab pada pengantar ini fokus pada
permasalahan di Indonesia. Disebutkan bahwa perlawanan yang terus tumbuh hari
ini adalah hasil dari kehidupan sistem pemerintahan yang jauh dari kata
adiluhung bagi kehidupan rakyat terutama kelas miskin.
Tuh kan … senada dengan apa yang MinBuk senggol di awal cerita soal Bicara Buku Pembebasan Perempuan ini. Pas sekali jika selepas membaca hasil reportase MinBuk, kamu ikut tertarik untuk melahap buku ini.
Apalagi nih ya, Sobat Buku, yang paling kentara hasilnya dari
sistem pemerintahan ini adalah pendidikan. Adakah kamu jadi sepemikiran juga?
Begini. Apakah kita sadar bahwa kita dijajah secara individu
oleh sistem melalui doktrin pembelajaran di sekolah yang sudah ditetapkan oleh
penguasa? Poin yang secara nyata mengesampingkan sudut pandang lain?
Pengetahuan yang semestinya bebas, kini dikekang dan sistem
tersebut masih berlaku di Indonesia. Kak Sikna melalui buku ini, jadi
merenungkan kembali mata pelajaran Kewarganegaraan dan Sejarah yang ada di
bangku sekolah. Ternyata benar, bisa jadi kita semua sesungguhnya tengah dijajah
oleh tanah air alias negara kita sendiri.
Tapi memang apa tujuan penguasa membentuk sistem ini?
Jawabannya adalah untuk hegemoni. Ya, apalagi? Satu kata kunci yang sangat
jelas dan tak perlu lagi diperdebatkan kebenarannya.
Sistem yang dimaksud di sini, bukan sekadar pemimpin
sekarang atau pemimpin sejak masa kemerdekaan saja, melainkan juga hasil dari
adanya pendudukan Eropa di Indonesia. Dan ya, mereka itu menganut sistem
kapitalis dan secara lembut kapitalis itu memang terjadi di Indonesia
Jadi, memang, menyalahkan salah satu pihak itu nggak tepat
tapi nyatanya penguasa negara juga suka dan nggak meluruskan hal ini sehingga …
apalah daya kita rakyat biasa. Selain bersuara yang entah juga didengar atau mereka
asik tutup telinga.
Berat ya bahasan bicara buku kali ini yang mengupas tentang
buku tipis berjudul Pembebasan Perempuan karya Deirdre Hogan dan Sara M. Evans.
MinBuk harap, kita semua selalu para pembaca buku, makin kritis di setiap waktu.
Sampai jumpa dengan MinBuk di sesi Bicara Buku selanjut ya,
Sobat Buku. Salam.
Kontributor :
Akarui Cha
Supervisor :
Yuyun Maulidah, Visya Albiruni
Tidak ada komentar:
Posting Komentar